Di mata manusia, citra adalah segalanya. Seorang tokoh agama diposisikan sebagai representasi moral, simbol kesalehan, dan rujukan spiritual. Ketika ia tergelincir dalam kesalahan, publik merasa kecewa, bahkan marah—karena yang dianggap "suci" ternyata rapuh juga. Namun, pertanyaannya adalah: ketika tokoh agama ini menyadari kekhilafannya dan dengan tulus bertobat, apakah ia layak dianggap lebih buruk daripada seorang penjahat yang juga bertobat?
Pertama-tama, kita perlu memahami bahwa manusia, sebaik apa pun citranya, tetaplah manusia—makhluk yang rentan terhadap kesalahan. Bahkan dalam kitab-kitab suci, para nabi pun pernah diuji, tergelincir, dan kemudian ditegakkan kembali oleh Tuhan. Lalu siapa kita, sebagai manusia biasa, untuk menutup pintu ampunan bagi orang yang bersungguh-sungguh menyesali perbuatannya?
Pertobatan, dalam esensinya, adalah momen transformasi. Ia bukan hanya tentang meninggalkan kesalahan, tetapi juga tentang keberanian untuk mengakui, memperbaiki, dan menanggung konsekuensi dari perbuatan. Dalam hal ini, baik tokoh agama maupun penjahat yang bertobat berada di jalan yang sama: jalan kembali kepada kebaikan. Yang membedakan bukan latar belakang kesalahan mereka, tapi sejauh mana mereka berkomitmen untuk tidak mengulanginya, dan seberapa besar dampak positif yang mereka ciptakan setelahnya.
Namun, kenyataan sosial sering kejam terhadap tokoh agama yang khilaf. Ia dituntut sempurna, tanpa celah. Padahal, ketika ia jatuh dan bangkit, perjuangannya bisa jadi lebih berat. Ia harus menata ulang kepercayaan publik, menghadapi stigma, bahkan mungkin kehilangan kehormatan yang dibangunnya selama bertahun-tahun. Tapi justru di situlah nilai pertobatannya diuji—karena ia harus berjuang dua kali: melawan dirinya sendiri, dan melawan penilaian orang lain.
Sebaliknya, seorang penjahat yang bertobat sering mendapat simpati lebih besar, karena posisinya sebagai “orang buangan” membuat transformasinya terlihat heroik. Ini bukan tidak adil, tapi menunjukkan bagaimana persepsi masyarakat dipengaruhi oleh ekspektasi, bukan oleh proses batin yang sebenarnya.
Jadi, apakah tokoh agama yang khilaf dan bertobat lebih buruk dari penjahat yang bertobat? Tidak. Keduanya adalah manusia yang sedang memperbaiki dirinya. Justru, jika pertobatan itu tulus, tokoh agama bisa menjadi teladan baru yang lebih otentik—karena ia telah merasakan jatuh dan bangkit, lalu mengajarkan kepada umatnya bukan hanya dari dogma, tapi dari pengalaman nyata.
Kita tidak perlu menimbang siapa yang lebih buruk. Yang seharusnya kita ukur adalah ketulusan dan keberanian untuk berubah. Karena pada akhirnya, ukuran moral bukan pada citra kita di masa lalu, tapi pada kemana kita melangkah setelah sadar dan bertobat.(Opini by SH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar